Bismillaah . . .
Dulu di
tengah hangatnya teh panas dan sepotong roti di pagi hari, saya dan
teman-teman satu kos sering ngobrol tentang sosok ikhwan atau suami
ideal.
... Menurut kami seorang ikhwan yang paham agama
pastilah sosok yang amat ‘super’. Super ngemong, sabar, romantis, dan
sebagainya, tiada cela dan noda. Dalam pikiran polos kami saat itu,
seorang ikhwan itu pasti ittibaussunnah dalam segala hal, termasuk dalam
berumah tangga.
Namun seiring berjalannya waktu akhirnya saya
menyadari, ternyata dulu kami melupakan satu hal. Yaitu bahwa seorang
ikhwan adalah juga manusia, yang tentu saja memiliki sifat “manusiawi”.
Mereka pun memiliki sederet masalah, dan mereka bukan malaikat. Jadi,
tidak layak tentunya jika berbagai tuntutan kita bebankan kepada mereka.
Membangun harapan adalah sah-sah saja. Hanya saja, jangan kaget
setelah bertemu realita. Setelah menikah, menyatukan dua hati yang
berbeda bukanlah hal mudah. Menginginkan sosok suami yang bisa
menyelesaikan konflik tanpa menyisakan sedikit pun sakit hati atau
masalah adalah harapan berlebihan.
Apalagi mengharap suami yang
full romantis di antara sekian beban yang ditanggungnya. Suami kita
hanyalah laki-laki biasa yang punya masa lalu dan latar belakang berbeda
dengan kita. Mereka seperti kita juga, punya banyak kelemahan di
samping kelebihannya.
Lantas apakah harus kecewa kalau sudah
dapat suami tapi masih jauh dari harapan waktu muda? Tidak juga. Hal
terpenting adalah jangan lagi berandai-andai dan mengeluh. Berpikirlah
progresif, jangan regresif. Pikirkan solusi, jangan mempertajam konflik
atau mendramatisir keadaan. Komunikasikan apa yang ada dalam benak kita
dalam situasi terbaik.
Fitrah wanita dengan porsi perasaan yang
lebih dominan seharusnya menjadikan kaum hawa lebih pintar memilih
waktu curhat yang tepat. Sikap “nrimo” atas kekurangan suami bisa jadi
pilihan tepat untuk mengurangi tingkat kekecewaan.
Konsepnya
semakin kita melihat perbedaan, semakin terluka hati ini
(self-fulfilling prophecy). Jadi, carilah titik persamaan untuk meraih
kebahagiaan. Dan ingat, dari sekian akhwat yang ada, kitalah yang
terpilih untuk menjadi belahan hatinya. Karena itu cintailah suami kita
apa adanya.
Bagi para akhwat yang belum menikah, tetaplah
“memanusiakan” manusia. Para ikhwan itu adalah seperti diri kita juga.
Mereka bukan Superman. Ingat pula bahwa jodoh ada di tangan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Tetaplah perbaiki diri baik secara dien maupun
fisik. Masalah bagaimana suami kita sekarang adalah
hak prerogatif Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Singkirkan sederetan
tuntutan “super” bagi suami. Semakin banyak tuntutan, bila tak
terpenuhi akan membuat tingkat kekecewaan semakin tinggi. Percayalah
pada janji Allah, bahwa suami yang baik adalah untuk istri yang baik
pula, insya Allah. Lagi pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
telah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa memilih suami adalah
karena ketinggian agama dan akhlaknya, bukan prioritas sekunder lainnya.
Akhir kata, yuk, sembari menyeruput teh panas, kita ganti topik
menjadi ~Bagaimana menjadi istri ideal.~ Wallahu a’lam.
(Ummu
Aisyah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar