Tak mudah bagi seorang ibu memilih ikut bekerja. Mungkin jika masih
gadis, bekerja malah menjadi ajang gali potensi. Kita bisa mengatur waktu
sesuka hati. Mau berangkat pagi-pagi, pulang malam, lembur tak menjadi
soal. Tanpa perlu izin suami, tanpa ada
perlu tanggungan mengurus rumah tangga dan tanggung jawab mengasuh anak.
Asal syar’i, bisa jaga diri dan pergaulan, bekerja sih oke-oke saja.
Namun segalanya bisa berubah kala menikah. Di samping harus beraktivitas
kerja, seorang ibu juga kadang dituntut kewajibannya yakni mengatur
urusan rumah tangga, melayani suami dan mengasuh anak. Kenapa saya tulis
kadang? Karena ada juga suami yang baik hati yang mengerti bahwa istri
tak harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga seluruhnya dan menuntut ini
itu layaknya istri ideal menurut versinya. Bila dulu semasa gadis waktu
pulang kerja bisa langsung istirahat, kalau sudah menikah tak bisa
seperti itu lagi. Sepulang kerja dari luar rumah, pekerjaan rumah tangga
sudah menanti ibu. Dari mulai mencuci baju, membersihkan rumah,
mengasuh anak, memasak, mencuci, belanja keperluan rumah tangga dsb.
Perasaan dilematis seorang ibu akan bertambah saat anaknya masih berusia
balita yang membutuhkan pengasuhan ekstra dan air susu ibu (ASI).
Idealisme memenuhi target ASI ekslusif dengan menjalankan pekerjaan
secara sempurna pun berbenturan. ASI adalah hak anak. Menyempurnakan
tugas pekerjaan pun adalah suatu kewajiban. Meski ada alat bantu pemeras
ASI, Ibu terpaksa meluangkan ditengah-tengah aktivitas pekerjaan untuk
memeras. Dua-duanya menjadi tidak optimal.
Bekerja memang bisa membantu pendapatan keluarga, namun ibu juga malah
mengeluarkan banyak pengeluaran sebagai kompensasi ibu bekerja di luar
rumah. Untuk membantu aktivitas rumah tangga, ibu membeli berbagai
peralatan elektronik seperti kulkas, mesin cuci, dan sebagainya. Jika
tidak ada mertua atau orangtua yang membantu pengasuh anak, ibu pun
memerlukan sosok pengganti untuk membantu mengasuh anak. Keluarlah biaya
untuk menggaji pengasuh. Perempuan bekerja pun menghadapi tuntutan
penampilan dan performa yang good looking. Walhasil, keluar lagi
pengeluaran uang untuk menjaga penampilan dan memudahkan aktivitas kerja
seperti membeli baju, tas, sepatu, notebook dan aksesoris lain.
Belum lagi, seadainya terjadi konflik di tempat kerja atau rumah tangga,
atau dua-duanya. Tak terbayang bagaimana penatnya. Di tempat kerja,
perempuan mendapat tekanan untuk profesional dalam bekerja. Seperti
pekerja pria, perempuan dituntut memberikan terbaik di tempat kerja. Di
rumah perempuan juga diharapkan melakukan terbaik. Bersyukurlah jika
punya atasan kerja atau pun suami yang mengerti kondisi kita. Sayangnya,
lelaki demikian ini bisa dihitung jari. Ada perasaan seorang suami
karena ‘telah ditunjuk Allah dalam Al-Quran sebagai pemimpin atau
qowwam’ malah menjadi sewenang-wenang memperlakukan istri. Padahal
menjadi qowwam itu adalah penunjukan dan sesuatu yang bersifat
pemberian, karena ke-Maha Kuasaan Allah sajalah dia terlahir sebagai
laki-laki.
Bersyukurlah mempunyai suami yang mau empati dan bekerjasama meringankan
tugas-tugas kita. Kalau tidak, wah rasanya beban psikologis kian
menumpuk. Penat nian. Semua ini mungkin tidak harus terjadi jika seorang
perempuan melakukan aktivitas rumah tangga saja. Pilihan menggeluti
aktivitas ibu rumah tangga saja sudah menyita tenaga, apalagi ditambah
aktivitas bekerja. Lebih-lebih lagi, sungguh dibutuhkan stamina tubuh
dan mental kuat. Sayangnya juga di era kapitalis ini, perempuan
berprofesi ibu rumah tanggai itu sering tidak dianggap, mempunyai posisi
tawar lemah yang sangat mudah ditekan dan dizalimi suami, karena banyak
suami kurang memahami ajaran agama. Bahkan suami yang bergerak aktif di
organisasi Islam belum tentu juga meneladani bagaimana Rasulullah
memperlakukan lemah lembut penuh cinta istrinya. Selain itu, ringan
tangan membantu istri.
Jika saya perhatikan, di berbagai sesi ceramah pengajian, khotbah nikah
dan buku-buku agama pihak perempuanlah yang senantiasa dituntut untuk
menjadi istri salehah dan menjadi sosok muslimah ideal taat suami agar
dicintai dan mungkin tidak ditinggal lari menikah lagi. Sedangkan untuk
suami hanya dibahas kewajiban mencari nafkah dan bekerja semata. Tidak
dibahas adab-adab kebaikan seperti berkasih sayang dalam memperlakukan
keluarga dan tanggung jawab membina keluarga Islami atau
kewajiban-kewajiban lain seperti dakwah, jihad dan sebagainya, sehingga
nampak bahwa menjadi pemimpin itu tidak mudah. Dengan pemberian
pemahaman melalui media kewajiban seorang pria akan mendorong kesadaran
iman bagi kaum lelaki tentang beratnya ‘jabatan’ qowwam sesungguhnya
sehingga mereka berhati-hati dalam berbuat khususnya dalam berkeluarga.
Dari sinilah, saya merenungkan alangkah indahnya Islam membatasi
aktivitas kewajiban utama perempuan ibu rumah tangga dan bekerja bagi
perempuan hukumnya sekedar mubah (boleh). Islam sangat mengerti betul
kekuatan fisik dan psikologi perempuan. Pemerintah Islam pasti juga
memberikan berbagai pelayanan yang memurahkan biaya kebutuhan pokok
warganegaranya seperti pendidikan, kesehatan, tunjangan sosial dan
memprioritaskan lapangan kerja bagi pria. Ini sangat meringankan
warganya. Sayangnya di era kapitalisme ini, semua serba mahal. Untuk
mendidik anak secara Islami pun tak mudah dan murah. Peluang lapangan
kerja pun terbatas. Perempuan terkadang dituntut untuk bekerja.
Di era sekuler kapitalis liberal sekarang ini jika istri tidak ikut
bekerja, seringkali terjadi persoalan kesulitan ekonomi. Hal ini karena
seorang suami musti sendirian menanggung biaya pendidikan, kesehatan,
pelayanan publik yang membutuhkan modal mahal, tunjangan sosial dan
sebagainya yang seharusnya ditanggung negara. Berbeda dengan negara
Islam yang mengupayakan pelayanan publik berupa pendidikan, kesehatan,
energi, listrik, air dsb secara murah bahkan gratis.
Tips Bagi Ibu Bekerja
Bagi ibu yang juga memilih bekerja ada sedikit tips yang bisa diterapkan
disini;
Ibu, pilihlah pekerjaan yang memiliki kandungan pahala besar dan efek
positif atau manfaat besar bagi perbaikan masyarakat. Ibu sebisanya ikut
berkontribusi terhadap perubahan masyarakat menuju yang Islami. Kita
perlu menyadari semua kepenatan ini salah satunya akibat buah sistem
kehidupan yang jauh dari Islam.
Ibu, hendaknya lebih lapang dada dan berpositif thinking ketika
meninggalkan anak saat bekerja. Pintar-pintarlah membagi waktu, jadikan
semua ladang pahala. Ingatlah hanya di surga kita bisa istirahat dengan
tenang.
Ibu syukurilah apa pun peran kita sekarang, sungguh di pelosok dunia
lain, banyak perempuan yang nasibnya jauh lebih buruk dan membutuhkan
uluran tangan kita. Wallahu’alambishawab
*Penulis: Aris Solikhah, ibu bekerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar